Awalnya Budi Anduk tertarik terjun ke dunia hiburan lantaran ingin menjadi pencipta lagu. Pada 1996, Budi, yang mahir bermain gitar, diajak bergabung dengan acara komedi situasi Ngelaba, yang dimotori grup lawak Patrio. "Kenapa saya mau ikut, karena saya ingin ketemu penyanyi-penyanyi terkenal," katanya.
Tapi, setelah bergabung, cita-citanya ingin mengembangkan talenta bermain musik buyar. Budi malah asyik dengan dunia barunya: komedi. "Saya ini jadi komedian karena 'dijorokin'," ujar Budi, yang kini terkenal lewat serial Tawa Sutra XL, yang ditayangkan stasiun ANTV.
Selepas Ngelaba, Budi makin mantap dengan dunia komedi yang digelutinya. Ia sempat ikut terlibat dalam beberapa serial komedi situasi, mulai jadi pemain hingga penulis naskah.
Lama-kelamaan, Budi pun menemukan ciri khasnya di dunia humor: seni mencela diri sendiri. Ia menyebutnya sebagai gaya mengebom diri sendiri. Seperti ketika Tempo hendak mewawancarainya, seorang rekannya berseloroh, "Bud, bedakan dulu sono." Dengan santai ia menjawab, "Halah, bedak nggak dibedakin nggak jauh bedanya."
Menurut Budi, tiap orang punya jalan yang bisa dikembangkan sendiri. "Wajar saja dalam dunia komedi ada pihak yang menyerang, ada yang defensif," katanya. "Nah, saya tipe orang yang gemar mengebom diri sendiri," katanya. Misalnya saat ada yang mengatakan dirinya bertampang seperti setan, "Saya bilang, saya bukan setan, tapi genderuwo, he-he-he...."
Soal nama belakangnya, Anduk, tutur Budi, dia punya kisahnya sendiri. Nama Anduk adalah julukan yang diberikan teman-temannya karena kegemarannya berkalung handuk ke mana pun ia pergi. "Habis saya gampang keringatan," dia menerangkan.
Meski seorang komedian, dalam keseharian Budi bukan tipe yang gemar melempar guyonan di setiap kesempatan. Malah ia mengaku cenderung tak suka orang yang gemar bercanda secara berlebihan. "Tapi kalau dibayar gila, ya, gila dah. Ini pekerjaan saya," katanya serius.
Dalam melempar humor, pria berdarah Jawa ini merasa lebih akrab dengan ungkapan-ungkapan Betawi sebagaimana ia dibesarkan. "Mungkin karena Betawi lebih dekat ke Melayu hingga lebih mudah diterima orang, ya."
Yang jelas, Budi berharap suatu saat namanya bisa dikenang orang karena ciri khas yang membedakannya dengan komedian lain, seperti halnya Djodjon atau Bolot. "Mereka dikenang bukan hanya karena antik secara fisik, kan?" katanya.
Budi tak menampik kenyataan dalam dunia komedi Indonesia yang masih sering main fisik. Ini tak terhindarkan, tapi justru jadi ciri khas komedi Indonesia. "Seperti Warkop DKI atau Mr. Bean yang sampai sekarang masih digemari. Nggak lucu kalau tidak ada slapstiknya," Budi menjelaskan.
Meski bagi sebagian orang slapstik bikin menderita, Budi menggangapnya sebagai harga yang harus dibayar untuk sebuah kelucuan. Sebagai sosok yang selalu jadi obyek penderita dari adegan-adegan slapstik, Budi punya resep sendiri: "Jalani penderitaan dengan ikhlas."
Tapi, setelah bergabung, cita-citanya ingin mengembangkan talenta bermain musik buyar. Budi malah asyik dengan dunia barunya: komedi. "Saya ini jadi komedian karena 'dijorokin'," ujar Budi, yang kini terkenal lewat serial Tawa Sutra XL, yang ditayangkan stasiun ANTV.
Selepas Ngelaba, Budi makin mantap dengan dunia komedi yang digelutinya. Ia sempat ikut terlibat dalam beberapa serial komedi situasi, mulai jadi pemain hingga penulis naskah.
Lama-kelamaan, Budi pun menemukan ciri khasnya di dunia humor: seni mencela diri sendiri. Ia menyebutnya sebagai gaya mengebom diri sendiri. Seperti ketika Tempo hendak mewawancarainya, seorang rekannya berseloroh, "Bud, bedakan dulu sono." Dengan santai ia menjawab, "Halah, bedak nggak dibedakin nggak jauh bedanya."
Menurut Budi, tiap orang punya jalan yang bisa dikembangkan sendiri. "Wajar saja dalam dunia komedi ada pihak yang menyerang, ada yang defensif," katanya. "Nah, saya tipe orang yang gemar mengebom diri sendiri," katanya. Misalnya saat ada yang mengatakan dirinya bertampang seperti setan, "Saya bilang, saya bukan setan, tapi genderuwo, he-he-he...."
Soal nama belakangnya, Anduk, tutur Budi, dia punya kisahnya sendiri. Nama Anduk adalah julukan yang diberikan teman-temannya karena kegemarannya berkalung handuk ke mana pun ia pergi. "Habis saya gampang keringatan," dia menerangkan.
Meski seorang komedian, dalam keseharian Budi bukan tipe yang gemar melempar guyonan di setiap kesempatan. Malah ia mengaku cenderung tak suka orang yang gemar bercanda secara berlebihan. "Tapi kalau dibayar gila, ya, gila dah. Ini pekerjaan saya," katanya serius.
Dalam melempar humor, pria berdarah Jawa ini merasa lebih akrab dengan ungkapan-ungkapan Betawi sebagaimana ia dibesarkan. "Mungkin karena Betawi lebih dekat ke Melayu hingga lebih mudah diterima orang, ya."
Yang jelas, Budi berharap suatu saat namanya bisa dikenang orang karena ciri khas yang membedakannya dengan komedian lain, seperti halnya Djodjon atau Bolot. "Mereka dikenang bukan hanya karena antik secara fisik, kan?" katanya.
Budi tak menampik kenyataan dalam dunia komedi Indonesia yang masih sering main fisik. Ini tak terhindarkan, tapi justru jadi ciri khas komedi Indonesia. "Seperti Warkop DKI atau Mr. Bean yang sampai sekarang masih digemari. Nggak lucu kalau tidak ada slapstiknya," Budi menjelaskan.
Meski bagi sebagian orang slapstik bikin menderita, Budi menggangapnya sebagai harga yang harus dibayar untuk sebuah kelucuan. Sebagai sosok yang selalu jadi obyek penderita dari adegan-adegan slapstik, Budi punya resep sendiri: "Jalani penderitaan dengan ikhlas."